Friday, June 13, 2025

KISAH KEBO ANABRANG ( ADWAYA BRAHMA )

KISAH MAHESA ANABRANG / KEBO ANABRANG / ADWAYA BRAHMAN Pada tahun 1275 Kertanagara raja Singhasari, mengirimkan utusan untuk menjalin persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya di Sumatra. Pengiriman utusan ini terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton sama sekali tidak menyebutkan siapa nama utusan ekspedisi ini. Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang, yang artinya ialah “kerbau yang menyeberang”. Terdapat kemungkinan bahwa ini bukan nama asli, atau pengarang kidung tersebut juga tidak mengetahui dengan pasti siapa nama asli sang komandan. Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang memperoleh keberhasilan. Nagarakretagama mencatat Melayu masuk ke dalam daftar jajahan Singhasari selain Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Pada tahun 1286, setelah Melayu (Sumatra) ditaklukkan, Kertanagara kemudian mengirim kembali utusan ke Bhumi Malayu yang dipimpin oleh Rakryan Mahamantri dan Adwayabrahma atau Mahisa Anabrang, membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya bernama śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.

Utusan Pamalayu kembali ke Jawa tahun 1293 dengan membawa dua orang putri bernama Dara Jingga dan Dara Petak, semula untuk dijodohkan dengan Kertanagara. Namun Kertanagara telah tewas setahun sebelumnya akibat pemberontakan Jayakatwang. Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit, sehingga ia yang menerima perjodohan tersebut. 
Mahisa Anabrang: 
Mahisa Anabrang, juga dikenal sebagai Kebo Anabrang, Mahesa Anabrang, atau Lembu Anabrang, adalah tokoh militer besar dari masa Kerajaan Singhasari. Ia diangkat oleh Raja Kertanegara sebagai pemimpin Ekspedisi Pamalayu (1275–1293), sebuah misi besar yang bertujuan menjalin aliansi dan memperluas pengaruh Singhasari ke wilayah Sumatra, khususnya Kerajaan Dharmasraya.
⚔️ Komandan Ekspedisi Pamalayu

Nama Mahisa Anabrang muncul dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe, meskipun tidak disebut dalam sumber utama seperti Pararaton atau Nagarakretagama. Nama “Anabrang” yang berarti “menyeberangi sungai” bisa jadi hanya nama julukan.

Selama ekspedisi, Mahisa Anabrang sukses membawa wilayah Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura ke dalam kekuasaan Singhasari. Pada tahun 1286, ia dikirim kembali ke Dharmasraya membawa arca Amoghapasa sebagai simbol diplomatik dan persahabatan.
Ia kembali ke Jawa pada 1293, setelah Kertanegara wafat. Bersama rombongan, ia membawa dua putri Melayu: Dara Jingga dan Dara Petak, yang awalnya ditujukan untuk dipersembahkan kepada sang raja. Namun, karena Kertanegara sudah terbunuh, perjodohan itu diteruskan kepada Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
💥 Pertempuran Tambak Beras & Akhir Tragis

Pada tahun 1295, Ranggalawe, Adipati Tuban dan sahabat Raden Wijaya, memberontak. Mahisa Anabrang bersama Nambi dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit untuk menumpas pemberontakan tersebut. Dalam duel di Sungai Tambak Beras, Mahisa Anabrang membunuh Ranggalawe.

Namun, karena Lembu Sora adalah paman Ranggalawe, ia tidak bisa menerima kematian keponakannya dan membunuh Mahisa Anabrang dari belakang sebuah pengkhianatan tragis yang menutup perang saudara pertama di Majapahit.

🏛️ Warisan dan Keturunan

Keluarga Mahisa Anabrang tidak berani menuntut Lembu Sora karena pengaruhnya besar di pemerintahan. Baru pada tahun 1300, Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, dibantu oleh tokoh bernama Mahapati, berhasil menyingkirkan Lembu Sora dari pemerintahan. Lembu Sora kemudian terbunuh oleh pasukan Nambi, akibat fitnah yang dilancarkan Mahapati.

📜 Misteri Identitas: Adwayabrahma dan Indrawarman

Ada teori bahwa Mahisa Anabrang adalah orang yang sama dengan Dyah Adwayabrahma, rakryan mahamantri yang disebut dalam Prasasti Padangroco, pengawal arca Amoghapasa. Bahkan ada dugaan bahwa ia juga dikenal sebagai Adityawarman atau Adwayawarman, ayah dari raja Minangkabau bernama Tuan Janaka.

Ada pula sumber dari tradisi Batak (masih butuh rujukan valid) yang mengaitkan Mahisa Anabrang dengan tokoh bernama Indrawarman yang disebut membawa pengaruh budaya Jawa ke Sumatra bagian utara.

Kidung Sorandaka mengisahkan keluarga Mahisa Anabrang tidak berani menuntut hukuman untuk Lembu Sora karena ia merupakan panglima kesayangan Raden Wijaya. Baru pada tahun 1300 seorang putra Mahisa Anabrang bernama Mahisa Taruna mendapat bantuan seorang tokoh bernama Mahapati.[butuh rujukan] Mereka pun berhasil menyingkirkan Lembu Sora dari jajaran pemerintahan Majapahit. Peristiwa yang terjadi selanjutnya ialah pembunuhan Lembu Sora oleh pasukan Nambi akibat fitnah yang dilancarkan Mahapati.

📘 Kesimpulan

Mahisa Anabrang adalah tokoh penting dalam transisi kekuasaan antara Singhasari dan Majapahit, yang bukan hanya berperan dalam perluasan wilayah ke Sumatra melalui Ekspedisi Pamalayu, tetapi juga menjadi aktor utama dalam konflik internal awal Majapahit. Hidupnya berakhir dengan tragis, namun jejaknya meninggalkan pengaruh besar dalam sejarah Nusantara.

#MahisaAnabrang #EkspedisiPamalayu #SejarahMajapahit #Kertanegara #Ranggalawe #SejarahNusantara #KerajaanSinghasari

Sunday, June 8, 2025

KISAH DARA JINGGA DAN LAHIRNYA SANG PENGUASA NUSANTARA

 


Siapa Dara Jingga yang merupakan ibunda dari seorang Raja besar di tanah Malayu dan menurunkan darah kepemimpinan Raja Raja Nusantara.

Mari kita kupas berdasarkan penelusuran para ahli yg telah tertuang di beberapa media

Dara Jingga adalah putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, raja Kerajaan Melayu yang berpusat di Dharmasraya dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak satu Ayah lain ibu,
Ibunda Dara Jingga adalah putri seorang brahman di Kerajaan Suruaso, wilayah Kabupaten Tanah Datar - Batusangkar saat ini.
Dara Jingga memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa — dinikahi oleh Adwaya Brahman, pemimpin Ekspedisi Pamalayu.

Namun ada beberapa pendapat mengatakan bahwa Dara Jingga juga diambil sebagai istri oleh Raden Wijaya selain adiknya Dara Petak. Hal ini mungkin terjadi mengingat sebelumnya Raden Wijaya juga telah mengambil ke empat putri Kertanagara sebagai istrinya ( kebiasaan raja raja dahulu, timah dan kebiasaannya adalah mutlak sebagai undang undang ) ( di perlukan penelusuran dan bukti bukti )*

Dalam kisah lainnya di kisahkan bahwa, 
dalam perjalanan kembali dari Ekspedisi Pamalayu, dipimpin oleh Mahesa Anabrang / adwaya brahman juga membawa serta dua orang putri dari Kerajaan Melayu, untuk dijodohkan dengan Kertanegara, raja Singhasari. Namun dikarenakan kerajaan Singhasari telah runtuh oleh gempuran Pasukan Khubilai Khan dari kerajaan Tiongkok pada zaman Dinasti Yuan, kedua putri ini atau hanya (Dara Petak) dikawini oleh Raden Wijaya, di mana Dara Petak dijadikan permaisuri raja Majapahit dengan gelar Indraswari. Sementara Dara Jingga di peristiwa oleh Mahesa Anabrang / Adwaya Brahma.

Selanjutnya setelah beberapa lama di Majapahit, lahirlah anak pertama dari perkawinanya dengan Adwaya Brahma yg menjabat sebagai Rakriyan Mahamantri, anak pertama mereka  bernama Arya Cakradara dimana setelah dewasa nantinya akan menikahi putri jaya wisnu wardani ( raja ke 3 majapahit ).
Dan saat mengandung anak keduanya ( arya damar / adityawarman, Dara Jingga memutuskan kembali ke Dharmasraya. Dara Jingga juga dikenal sebagai Bundo Kanduang dalam Hikayat/Tambo Minangkabau.
Kembalinya Dara Jingga pada masa itu karena kondisi kerajaan majapahit banyak terjadi kekisruhan dan beberapa pemberontakan. Rakriayan mahamantri mengirim dara jingga kembali ke Siguntur ( dhamasraya ).
Setelah keadaan tenang dan aditya warman lahir Dara jingga kembali ke Majapahit.
Dan melahirkan adik adik dari arya damar yang nantinya akan menjadi raja Tabanan di Bali.

Babad Arya Tabanan adalah babad yang dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan lontar kuno yang dimiliki beberapa Puri (Keraton) di Tabanan, Bali, Indonesia. 

Babad ini menceritakan awal ekspedisi Majapahit ke Bali yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan Arya Damar (Adityawarman). 

Dalam babad ini disebutkan ada kisah di masa lalu, sekitar tahun saka 1250-1256, ada keturunan raja yang tinggal di Kerajaan Kahuripan ( adwaya brahma dan dara jingga ) menurunkan enam anak laki-laki. 
- Putra sulung bernama Rahaden Cakradara (suami Raja Putri Majapahit III yang bergelar Jaya Wisnu Wardani atau Ratu Bre Kahuripan), adik-adiknya secara berturutan
- Bernama Sirarya Dhamar / Arya Damar / Aditya warman 
- Sirarya Kenceng, 
- Sirarya Kuta Wandira (Kuta Waringin), 
- Sirarya Sentong dan 
- yang bungsu Sirarya Belog (Tan Wikan).[1]

Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik Arya Damar, yaitu Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong dan Arya Belog. 

Sementara itu, Arya Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang. 
Arya Kenceng memimpin saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Beliau dianggap sebagai leluhur raja-raja Tabanan dan Badung.
Diceritakan setelah Bali berhasil ditaklukan, sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan pulau Bali, semua Arya dikumpulkan, diberikan ceramah tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik. Tujuan utamanya ialah tetap mempersatukan pulau Bali dan dapat dipertahankan sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Setelah semua dirasa cukup, semua Arya diberikan daerah kekuasaan yang menyebar diseluruh Bali.

Sirarya Kenceng diberikan kekuasaan didaerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang, 
Sirarya Kuta Waringin bertahan di Gegel dengan rakyat sebanyak 5.000 orang, 
Sirarya Sentong berkedudukan di Pacung dengan rakyat sebanyak 10.000 orang dan Sirarya Belog (Tan Wikan) diberikan kerdudukan di Kabakaba dengan jumlah rakyat sebanyak 5.000 orang. 
Sirarya Damar diajak kembali ke Majapahit, kelak beliau diangkat menjadi Adipati Palembang.

Salah satu keturunan dari Raja Tabanan, kemudian mendirikan kerajaan Badung (Denpasar) yang terkenal dengan Perang Puputan Badung melawan kolonial Belanda. Babad ini juga menceritakan kejadian-kejadian penting dan suksesi Raja-Raja Tabanan.

Saturday, June 7, 2025

KISAH KERAJAAN MALAYA PURA ( ADITYA WARMAN TUAN GADANG SURUASO )

Kerajaan Malaya pura adalah sebuah kerajaan besar yg di bangun oleh Aditya Warman.
Putra dari Dara Jingga seorang puteri Raja di Dharmasraya.

Dharmasraya adalah nama ibu kota dari sebuah Kerajaan Malayapura di Sumatra. Nama ini muncul seiring dengan melemahnya Kadaulatan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I (raja Chola dari Koromandel) pada tahun 1025.

Munculnya Wangsa Mauli

Kemunduran Kadatuan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.


Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.


Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Tiongkok[2] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Dalam Kitab Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut bhumi melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.


Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Walaupun ibu kota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada zaman Adityawarman.

Bergesernya dari kawasan Siguntur / dharmasraya berpindah ke Suruaso adalah sebuah proses pemilihan lokasi kerajaan Malayapura dimana sebelumnya Adityawarman mengkondisikan pusat pemerintahan di kawasan Mahat ( 50 kota )

Suruaso di pilih karena kondisi alam dan lokasinya tidak jauh dari dhamasraya

Dari beberapa prasasti peninggalan Adityawarman, memang belum ada ditemukan kata-kata Pagaruyung, begitu juga tambo yang ada pada masyarakat juga tidak secara jelas menyebutkan nama dari raja mereka, dalam hal ini nama Adityawarman itu sendiri. Namun yang pasti Adityawarman memang menjadi raja di wilayah Pagaruyung, dari salah satu prasastinya menyebutkan bahwa ia sebagai Suravasawan atau Tuan Surawasa. Surawasa berubah tutur menjadi Suruaso, sebuah nagari yang berbatasan dengan nagari Pagaruyung sekarang.

Prasasti Saruaso I merupakan salah satu dari prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman. Prasasti ini juga dinamakan dengan Prasasti Batu Bapahek. Prasasti ini dinamakan Prasasti Suruaso karena pada manuskripnya tersebut kata Sri Surawasa yang merupakan asal kata dari nama nagari Suruaso di (wilayah Kabupaten Tanah Datar sekarang). Prasasti ini berangka tahun 1297 Saka atau 1375 M.

Kira-kira 1 km dari Suruaso terdapat sebuah pengairan menembus bukit yang dipahat, jaraknya hanya sekitar 2 meter dari tepi Batang Selo, dan pada bahagian kiri dan kanan saluran irigasi ini terdapat prasasti, dan salah satunya adalah prasasti ini. Prasasti ini menggunakan aksara Melayu dan sebuah lagi menggunakan aksara Nagari (Tamil). Pembangunan saluran irigasi ini dapat menunjukan kepedulian Adityawarman untuk peningkatan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung dengan hasil hutan dan tambang saja.

Saat ini, prasasti masih berada di lokasi penemuannya (in situ) dan telah diberi atap tradisional Minangkabau sebagai pelindung, serta berada di bawah pengawasan BPCB Batusangkar.

Teks prasasti

Teks prasasti menurut pembacaan Kern, sbb.:

subhamastu //o// bhuh karṇṇe nava-darçaçane Saka gate Jeṣṭhe çaçi Manggale / sukle ṣaṣṭithir nṛpottamaguṇair [r] Ādittyavarmmanṛpaḥ / kṣettrajñaḥ racito Viçesadharaṇīnāmnā surāvāçavān hāçāno nṛpa āsanottamasadā khādyam pivan nissabhā // puṣpakoṭisahāçrāni / teṣāṁgandham pṛthak-pṛtak / Ādittyavarmmabhūpāla- / homagandho samo bhavet //

Penafsiran teks prasasti

Prasasti Saruaso I menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi, yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya.

Dr. Uli Kozok berpendapat bahwa hal tersebut memastikan bahwa adat Minangkabau, yaitu pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (keponakan), sesungguhnya telah terjadi pada masa tersebut.

KISAH ADITYAWARMAN 5 ( RAJA MALAYA PURA )

Dalam perjalanan kembalinya mahesa Anabrang / kebo anabrang ( gelar perang ) dengan membawa 2 orang puteri dari dhamasraya, kebo anabrang sebenarnya telah jatuh hati dengan Dara Jingga, dan mahesa anabrang telah mempersiapkan diri untuk memohon kepada Raja Kretanegara kelak saat sampai di Singhasari untuk meminta Dara Jingga sebagai istrinya, mengingat masa itu Raja Kreta negara sudah berumur.

Dan sebagian menyampaikan saat perjalanan pulang ke tanah jawa, keduanya telah melangsungkan pernikahan.
Dan ini juga merupakan sepenggal teka teki dari Gajah mada.
Kembali ke kisah Kebo Anabrang ini yg kemudian telah mempersunting dara jingga
Dan dalam catatan babad Arya Tabanan

Adwaya Brahman Shri Tinuheng Pura ( Ia yang di hormati di Singasari & Majapahit) beristrikan Dara Jingga (Sira Alaki Dewa/dia yang bersuami seorang Dewa), berputra:

Raden Cakradara (suami Tribhuwana Tungga Dewi)
Arya Damar / Adityawarman Raja Palembang
Arya Kenceng
Arya Kuta Wandira
Arya Sentong
Arya Belog
Kembali diceritakan, tentang para ksatria enam bersaudara itu. Yang sulung bernama: Raden Cakradara, tampan dan sempurna wajahnya, tinggi ilmunya, cerdas dan bijaksana, bajik prilakunya, banyak pengetahuannya, pemberani, dan mahir dalam pertempuran. Di dalam sayembara, beliau terpilih untuk dijadikan suami oleh sang raja putri Bra Wilwatikta (raja Majapahit) yang ketiga. Setelah menikah beliau bergelar Sri Kerta Wardana. 

Adapun yang kedua banyak namanya, antara lain: Sirarya Damar, Arya Teja, Raden Dilah, Kyayi Nala. Jabatannya Dyaksa, perintahnya selalu ditaati, bagaikan singa keberaniannya.

Yang ketiga bernama Sirarya Kenceng, terkenal tentang keganasannya, keberaniannya ibarat harimau. 
Yang keempat Sirarya Kuta Waringin. 
Yang kelima Sirarya Sentong, 
serta yang keenam Sirarya Belog, semuanya itu pandai bersilat lidah, bagaikan kelompok gandara prilaku mereka.

Kelima para arya itu menjadi pejabat penting (bahudanda) mengabdikan diri dibawah Sri Maha Rajadewi Wilatikta (Majapahit).

Arya Kenceng berkuasa di daerah Tabanan, beristana di sebuah desa bernama Pucangan atau Buwahan di sebelah selatan Baleagung. Batas daerah kekuasaan dia: sebelah timur sungai Panahan, sebelah barat sungai Sapwan, sebelah utara Gunung Beratan atau Batukaru dan sebelah selatan daerah-daerah di utara desa Sanda, Kurambitan, Blungbang, Tangguntiti dan Bajra, sama-sama daerah kekuasaan Kabakaba, mulai tahun 1343.

Adapun Arya Kenceng menikah dengan seorang keturunan brahmana di Ketepengreges, wilayah Majapahit, sang putri tiga bersaudara. Yang tertua menikah dengan Dalem Sri Kresna Kepakisan, Yang ketiga (anom) menikah dengan Arya Sentong dan yang kedua (penengah) menikah dengan Batara Arya Kenceng.
Sebagai yang tercatat anak kedua dari pernikahan mahesa anabrang / kebo anabrang / rakryan mahamantri

Kita ulang kembali khusus kepada Adityawarman sang pemain utama dalam kisah ini :

Berdasarkan Prasasti Kuburajo, Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman. Akan tetapi, dalam Prasasti Bukit Gombak disebutkan bahwa Adityawarman adalah putra dari Adwayadwaja. Nama ini mirip dengan nama salah seorang pejabat penting Kerajaan Singhasari (Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrahma) yang pada tahun 1286 mengantar Arca Amoghapasa untuk dipahatkan di Dharmasraya sebagai hadiah dari Raja Singhasari Kertanagara kepada Raja Malayu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Adityawarman dalam Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama disebut dengan nama Tuhan Janaka yang bergelar Mantrolot Warmadewa. Ibunya bernama Dara Jingga putri Kerajaan Malayu di Dharmasraya

Dara Jingga bersama adiknya Dara Petak ikut bersama tim Ekspedisi Pamalayu yang kembali ke Jawa pada tahun 1293. Ahli waris Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai permaisuri dan bahwa Dara Jingga sira alaki dewa, yaitu bersuamikan kepada seorang “dewa” (bangsawan).

Pendapat lain mengatakan bahwa Adityawarman juga merupakan anak dari Raden Wijaya, yang berarti Raden Wijaya bukan hanya memperistri Dara Petak melainkan juga Dara Jingga. Penafsiran ini mungkin karena dalam Nagarakretagama disebutkan Raden Wijaya telah memperistri keempat putri Kertanagara.

Muhammad Yamin berpendapat bahwa Adityawarman lahir di Siguntur (Kabupaten DharmasrayaSumatera Barat sekarang). Ketika muda ia berangkat pergi ke Majapahit, karena ayah atau ibunya mempunyai perhubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit pertama, Kertarajasa Jayawardana. Adityawarman dianggap saudara dari Raja Jayanegara yang tidak memiliki putra. Oleh karena itu, menurut adat Adityawarmanlah yang paling dekat untuk pengganti mahkota.

Adityawarman dilahirkan dan dibesarkan di Majapahit[7][8] Hal itu diketahui dari Prasasti Blitar yang memuat nama Mpu Aditya.pada masa pemerintahan Raden Wijaya (1294–1309). Menurut Pararaton, raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian, hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu sesama cucu raja Malayu dari Kerajaan Dharmasraya. Dari versi lain, mereka disebutkan juga saudara seayah sesama anak Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardana.[9]

Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, maka ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk Tiongkok selama dua kali yaitu pada tahun 1325 dan 1332. Dalam kronik Dinasti Yuan ia disebut dengan nama Sengk'ia-lie-yu-lan. Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Majapahit dengan bangsa Mongol, setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Singhasari dan zaman Raden Wijaya.

Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Jayanagara), Adityawarman diangkat sebagai Wreddhamantri, atau Perdana menteri. Hal ini tersebut pada Prasasti Manjusri tahun 1343 yang menyatakan bahwa, Adityawarman selaku wreddhamantri menempatkan arca Mañjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha (Candi Jago) di bhumi jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.Dan sebelumnya namanya juga tercatat dalam prasasti Blitar yang bertarikh 1330 sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. 

Dari Piagam Bendasari terdapat istilah tanda rakryan makabehan yang menyatakan urutan jabatan di Majapahit setelah raja, di mana disebutkan secara berurutan dimulai dengan jabatan wreddamantri sang arya dewaraja empu Aditya, sang arya dhiraraja empu Narayana, rake mapatih ring Majapahit empu Gajah Mada, dan seterusnya. Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Adityawarman begitu sangat tinggi di Majapahit melebihi kedudukan dari Gajah Mada pada waktu itu.


Arya Damar adalah tokoh dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan, yaitu sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343

Di dalam Babad Arya Tabanan diceritakan bahwa Arya Damar adalah keturunan bangsawan (wangsa ksatria, bahasa Baliarya) yang berasal dari Kediri. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.

Dari beberapa prasasti peninggalan Adityawarman, memang belum ada ditemukan kata-kata Pagaruyung, begitu juga tambo yang ada pada masyarakat juga tidak secara jelas menyebutkan nama dari raja mereka, dalam hal ini nama Adityawarman itu sendiri. Namun yang pasti Adityawarman memang menjadi raja di wilayah Pagaruyung, dari salah satu prasastinya menyebutkan bahwa ia sebagai Suravasawan atau Tuan Surawasa. Surawasa berubah tutur menjadi Suruaso, sebuah nagari yang berbatasan dengan nagari Pagaruyung sekarang.

Catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebut di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368),
Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok. Nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih merujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377. 

Berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan berasal dari zaman Adityawarman. Naskah tersebut menyebutkan tentang adanya Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, Adityawarman bergelar Maharajadiraja dan membawahi Dharmasraya dan Palembang.
Melihat gelar yang disandang oleh Adityawarman, terlihat ia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Dinasti Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang oleh salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini dilakukannya untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa yang ada di bhumi malayu, sesuai dengan manuskrip pengukuhannya sebagai Maharajadiraja, bahwa Adityawarman menyebutkan dirinya sebagai pelindung persatuan dan menentang perpecahan dalam kerajaannya.




KISAH ADITYAWARMAN 4 ( RAJA MALAYA PURA )

 


Pada kisah sebelumnya di sebutkan pemimpin dari pasukan Pamalayu 1 adalah Kebo Anabrang / mahesa anabrang ( sebuah gelar kehormatan )
Memimpin pasukan singhasari hingga ke pedalaman sumatera dari daerah kerajaan sekala brak hingga aceh

Kebo AnabrangMahesa Anabrang, atau Lembu Anabrang (lahir: ? – wafat: 1295) adalah nama seorang perwira Kerajaan Singhasari yang diutus oleh raja Kertanegara 
menjadi komandan Ekspedisi Pamalayu tahun 1275 – 1293. Kebo Anabrang juga dikenal karena berduel dan membunuh Ranggalawe, salah satu abdi Raden Wijaya,Kebo Hanabrang merupakan Senopati untuk area Kotaraja Majapahit dan sekitarnya.beliau terlibat pertempuran Tambak Beras yaitu pertikaian antar senopati majapahit.

Pada tahun 1275 Kertanagara raja Singhasari, mengirimkan utusan untuk menjalin persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya di Sumatra. Pengiriman utusan ini terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton sama sekali tidak menyebutkan siapa nama utusan ekspedisi ini.

Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan nama utusan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang, yang artinya ialah “kerbau yang menyeberang”. Terdapat kemungkinan bahwa ini bukan nama asli, atau pengarang kidung tersebut juga tidak mengetahui dengan pasti siapa nama asli sang komandan.

Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang memperoleh keberhasilan. Nagarakretagama mencatat Melayu masuk ke dalam daftar jajahan Singhasari selain Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.

Pada tahun 1286, setelah Melayu (Sumatra) ditaklukkan, Kertanagara kemudian mengirim kembali utusan ke Bhumi Malayu yang dipimpin oleh Rakryan Mahamantri Adwayabrahma atau Mahisa Anabrang, membawa arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya bernama śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa.

Mahisa Anabrang kembali ke Jawa pada tahun 1293 dengan membawa dua orang putri Melayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Menurut Pararaton, Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa” (sira alaki dewa), yang berarti seorang bangsawan. Dara Jingga kemudian melahirkan seorang putra bernama Tuan Janaka yang kemudian menjadi raja Minangkabau bergelar Mantrolot Warmadewa. Beberapa sumber mengatakan bahwa ini adalah nama lain dari Adityawarman.

Nama ayah Adityawarman adalah Adwayawarman menurut prasasti Kuburajo atau Adwayadwaja menurut prasasti Bukit Gombak. Gelar yang hampir serupa ialah Dyah Adwayabrahma, juga terdapat dalam prasasti Padangroco, sebagai salah seorang pengawal arca Amoghapasa yang dibawa ke Sumatra tahun 1286. 

Tertulis dalam prasasti bahwa Adwayabrahma yang menjabat rakryan mahamantri, suatu jabatan tinggi bagi bangsawan kerabat raja. Demikianlah terdapat anggapan bahwa tokoh Adwayabrahma ini adalah tokoh yang sama dengan Mahisa Anabrang utusan Pamalayu.

Dari pernikahannya dengan Dara Jingga memiliki putera: (menurut Babad Arya Tabanan):

Arya Cakradara (suami dari Tribhuwana Wijayatunggadewi)[perlu rujukan]
Arya Dhamar/ Adityawarman (Raja di Palembang, Pagar Ruyung, dan Melayu Jambi / Kerajaan Dharmasraya)
Arya Kenceng (Raja Tabanan,Bali)
Arya Kutawandira
Arya Sentong
Arya Belog.
Merekalah yang bersama-sama Gajah Mada, berperang untuk menaklukkan Bali (Bedahulu) pada sekitar tahun 1340. Empat putera yang terakhir menetap dan mempunyai keturunan di Bali. Arya Kenceng kemudian menurunkan raja-raja Tabanan dan Badung (wilayahnya kira-kira meliputi Kabupaten Badung dan Kotamadya Denpasar) yang terkenal dengan perang puputan ketika menghadapi penjajah Belanda pada tahun 1906.

Erat kaitan antara bali dan majapahit serta tanah sumatera adalah bermula dari kisah ini.

Kita lanjutkan kembali di kisah selanjutnya

KISAH ADITYAWARMAN 3 ( RAJA MALAYA PURA )

 


Kelanjutan dari kisah leluhur Sri maharaja Adityawarman makin menarik. Mari kita lanjutkan kisah dari Dyah lembu Tal, ayah dari Raden Wijaya dan orang - orang di sekitarnya

Menurut Nagarakretagama Raden Wijaya adalah anak dari Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka atau Narasinghamurti. Kakeknya ini, adalah anak dari Mahisa Wonga Teleng, putra dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Ken Angrok atau Sri Ranggah Rajasa adalah pendiri Dinasti Rajasa yang kemudian menurunkan raja-raja Singhasari dan Majapahit. Naskah ini memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan merupakan Ayah dari Raden Wijaya.

Dari genealoginya, Wijaya juga merupakan keponakan Kertanagara, Adapun Kertanagara adalah keturunan dari Anusapati, putra Ken Dedes dan Tunggul Ametung.

Menurut Prasasti Kudadu (1294),tertulis bahwasanya Lembu Tal (ayah raden wijaya) adalah anak Narasinghamurti. Menurut Prasasti Balawi (1305), Prasasti Sukamerta (1296), dan Kakawin Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Dengan Tribhuwaneswari, Wijaya mempunyai seorang putra bernama, Jayanagara. Dengan Gayatri, Wijaya memperoleh dua putri. Putri sulung bernama Tribhuwana Wijayatunggadewi. Putri bungsu bernama Rajadewi Maharajasa


Pada tahun 1289, Kubilai Khan mengirim permintaan upeti kepada Kerajaan Singhasari, namun permintaan tersebut ditolak oleh Kertanagara, Raja Singhasari dan utusan tersebut dipermalukan dengan dipotong telinganya. 

Kemudian disinilah awal mula dari sejarah kelahiran Aditya warman.

Saat itu, maharaja di kerajaan singhasari adalah Sri Maharaja Kertanagara (Hanacaraka:ꦯꦿꦶꦩꦲꦴꦫꦴꦗꦏꦽꦠꦤꦴꦒꦫ) atau disebut Kertanegara meninggal tahun (1292), adalah raja terakhir yang memerintah Kerajaan Singhasari dengan gelar abhiseka Sri Maharajadiraja Kertanagara Wikrama Dharmmottunggadewa. 

Nama kecil: Narāryya Mūrddhaja
Śrī Mahārāja Śrī Lokawijaya Puruśottama Wīrā Aṣṭa Basudewādhipā Aniwāryyawiryyanindita Parākrama Mūrddhaja Namottuṅgadewa

Masa pemerintahan Kertanagara dikenal sebagai masa kejayaan Singhasari. Ia sendiri dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara. Menantunya, Raden Wijaya, selanjutnya mendirikan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 sebagai penerus Wangsa Rajasa dari Singhasari.

Istri Kertanagara bernama Sri Bajradewi. Dari perkawinan mereka lahir beberapa orang putri, yang dinikahkan antara lain dengan Dyah Wijaya putra Dyah Lembu Tal, dan Ardharaja putra Jayakatwang. Nama empat orang putri Kertanagara yang dinikahi Raden Wijaya menurut Nagarakretagama adalah Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Kertanagara naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana. Berdasarkan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, Kertanagara bergelar śrī mahārājādhirāja kŗtanagara wikrama dharmmottunggadewa.

Menurut Pararaton ia adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik takhta secara damai. Kertanagara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Tumapel di dalam dan di luar pulau Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Kerajaan Melayu, Bali, Pahang, Gurun, Sunda, Madura dan Bakulapura

Kertanegara sebagai Raja besar di tanah jawa, memiliki  ambisi memperluas wilayah kekuasaannya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna penaklukan Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka 

yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting. Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol 

yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia. Pengiriman pasukan ke Sumatra dilakukan pada tahun 1275 di bawah pimpinan Mahisa Anabrang

Tak lama kemudian, terjadi pemberontakan melawan Singhasari di Kadipaten Gelang-Gelang (sekarang Madiun) yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kertanagara terbunuh dalam upaya memadamkan pemberontakan pada tahun 1292, dan Raden Wijaya melarikan diri ke Sumenep, Madura, bersama dengan gubernur wilayah itu, Arya Wiraraja. Di sana Raden Wijaya membuat rencana untuk mendirikan kerajaan baru. Wijaya berjanji akan membagi Jawa dengan Arya Wiraraja jika Arya Wiraraja dapat membantunya menggulingkan Kerajaan Kediri milik Jayakatwang. Saat masih muda, Wiraraja mengabdi pada Narasingamurti, kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah, jika ia berhasil merebut kembali tahta mertuanya, kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya sendiri dan untuk Wiraraja.[butuh rujukan]

Pada tahun 1293, pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanagara yang berani mencelakai utusan Kubilai Khan pada tahun 1289. Raden Wijaya sebagai pewaris Kertanagara bersedia menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu ditolong untuk membebaskan diri dari Jayakatwang. Maka pasukan Mongol dan Majapahit pun bergabung untuk menyerbu ibu kota Kadiri. Saat itu, Kerajaan Kediri runtuh. Selanjutnya, Raden Wijaya berdasarkan masukan Wiraraja menyerang pasukan Mongol yang sedang merasakan euforia kemenangan melawan Kerajaan Kediri. Tak pelak, Wiraraja dengan berbagai taktiknya membawa kemenangan bagi Raden Wijaya untuk mengalahkan pasukan Mongol.

Inilah titik awal Raden Wijaya berkuasa dan menjadikan Tarik (Trowulan, Mojokerto) sebagai pusat kekuasaan yang kemudian menjadi Kerajaan Majapahit. Istilah Majapahit muncul karena di kawasan hutan Tarik banyak terdapat buah maja yang rasanya pahit. Raden Wijaya menjadi raja Majapahit pertama yang merdeka pada tahun 1293. Arya Wiraraja diangkat menjadi pasangguhan/senapati (panglima perang) Majapahit dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka.

Putra Arya Wiraraja, Ranggalawe menjabat sebagai salah satu adipati Wijaya, tetapi di kemudian hari ia memberontak terhadap raja baru tersebut. Perwira terkenal lainnya adalah Lembu Sora dan Nambi, keduanya juga memberontak terhadap Wijaya setelah berdirinya kerajaan Majapahit. 

Pemicu pemberontakan adalah meskipun mereka yang memberontak telah diberi jabatan, mereka tetap merasa tidak puas. Nambi sendiri kemudian juga memberontak pada masa pemerintahan Jayanegara, pemberontakan Nambi berhasil dipadamkan pada tahun 1316.


KISAH ADITYAWARMAN 2 ( RAJA MALAYAPURA )

 


Dari kisah sebelumnya, menjelaskan tentang Ken Arok sebagai trah awal dalam silsilah turun temurun raja raja Jawa hingga ke wilayah nusantara.

Setelah Ken Arok menikahi Ken dedes, ken Arok juga menikahi Ken Umang ( emban istana )

Dari pernikahan tersebut lahirlah keturunan keturunannya 

Mahesa wonga teleng sebagai anak langsung dari perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes
Memiliki darah pemimpin yg kental

Dan keturunan Mahesa Wong ateleng adalah MAHESA CEMPAKA dan saudara senenek nya dari perkawinan Kendedes dan Tunggul Ametung adalah Ranggawuni adalah partner terbaiknya dalam mengembangkan kebesaran Singhasari dimana mereka di kenal dengan sebutan Nogo Roro Saleng ( dua naga dalam satu sarang )

Setelah Tohjaya naik tahta, dan akibat hasutan dari pembantunya yang bernama Pranaraja, Tohjaya berniat membunuh Mahisa Campaka dan sepupunya, Ranggawuni (putra Anusapati) karena keduanya dianggap berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Usaha pembunuhan itu gagal. Mahisa Campaka dan Ranggawuni justru mendapat dukungan kuat dari tentara Tumapel dan berbalik menggulingkan Tohjaya tahun 1250.

Setelah Tohjaya tewas, Ranggawuni menjadi raja Tumapel bergelar Wisnuwardhana, sedangkan Mahisa Campaka menjabat Ratu Angabhaya atau raja Kadiri bergelar Bhatara Narasinghamurti. Keduanya memerintah berdampingan. Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan di antara keturunan Ken Arok (dalam hal ini diwakili Narasinghamurti) dan keturunan Tunggul Ametung (yang diwakili Wisnuwardhana). Pemerintahan bersama itu dalam Pararaton diibaratkan seperti dua ular dalam satu liang.

Prasasti Penampihan yang dikeluarkan oleh Kertanagara (putra Wisnuwardhana) menyebut Narasinghamurti meninggal dunia tahun 1269. Ia didharmakan (dibuatkan monumen penghormatannya) di Kumitir, menurut Desawarnnana karya Mpu Prapanca.

Selanjutnya putra dari mahesa cempaka atau narasingamurthi / narajaya adalah Dyah Lembu Tal 

Lembu Tal atau Sri Harsawijaya atau Mahisa Tal adalah Seorang Putra dari Mahisa Campaka dan cucu dari Mahisa Wong Ateleng putra Ken Dedes dengan Ken Arok, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Singasari. Dyah Lembu Tal merupakan seorang Ksatria dan merupakan etnis Jawa dan bukan merupakan seorang perempuan. menurut Kitab Negarakertagama Lembu tal adalah seorang Ksatria Yudha.Lembu Tal Adalah Ayah dari Raden Wijaya Sang Raja Majapahit Pertama

Menurut Negarakertagama ,Kitab yang ditulis hingga selesai tahun 1365 M.Raden Wijaya memiliki ayah Dyah Lembu Tal yang dijuluki Sang Ksatria Yudha dan didharmakan dalam patung Buddha (lelaki) di candi Mireng.[4]

Dalam Negarakertagama pupuh 46-47 juga dijelaskan Dyah Lembu Tal [5]adalah Bapa Baginda Nata atau bapak Raden Wijaya.

Dalam Kidung Harsawijaya, Narasingamurti memiliki putra bernama Sri Harsawijaya yang juga bergelar nama Lembu Tal.

Menurut Prasasti Kudadu [6]tahun 1294 , Lembu Tal adalah Anak Laki Laki /Suta Atmaja dari Narasingamurthi yang tertulis dalam kalimat :

"narasinghamurtti suta atmaja"

artinya :

" Suta Atmaja (Putra/Anak Laki Laki) nya Narashinghamurtti"

Dalam Naskah Wangsakerta , Dyah Lembu Tal dianggap sebagai perempuan dan menikah dengan raja dari Kerajaan Sunda.[7] Naskah ini dianggap palsu oleh sejarahwan.[8] Karena bertentangan dengan kitab dan prasasti era Majapahit maupun kerajaan sebelumnya. Serta Gelar "Dyah" dalam Jawa kuno umumnya hanya digunakan untuk laki laki bukan untuk perempuan. Naskah ini memuat banyak informasi lebih modern dari klaim tahun pembuatannya yang diperkirakan dibuat pada abad ke 19. Raja Majapahit tidak pernah berkunjung ke Pasundan. Padahal bila itu leluhurnya pasti pernah berkunjung kesana. Perbedaanya banyak ditemui pada candi era kerajaan Jawa yang berbeda coraknya dengan kerajaan Sunda, serta jarang terdapat percandian di Sunda, itupun tidak sebesar dan semegah candi-candi di kerajaan Jawa. Membuktikan sifat mereka tidak sama. Prasasti era Majapahit ditulis dengan bahasa Jawa Kuno. Prasasti era Sunda Galuh ditulis dengan bahasa Sunda Kuno.

Prasasti Kudadu (1294 M) dan Negarakertagama (1365 M) dan Pararaton merupakan sumber sejarah yang valid dikarenakan ditulis pada tahun yang kuno bila dibandingkan dengan Naskah wangsakerta yang ditulis pada thn 1760 -1800.




KISAH ADITYA WARMAN 1 ( RAJA MALAYA PURA )

 


Salam sejahtera para pecinta sejarah, adapun tulisan yg di angkat kali ini adalah bagaimana kisah awalmula Aditya Warman dan literasi - literasi pendukungnya.

Kisah ini tentu kita mulai dari sebuah kisah yg ada di tanah jawa. Yaitu kisah seorang Raja Jawa yg sangat masyur, yg mampu menciptakan sejarah besar dan panjang di nusantara ini.

Kisah tersebut adalah KEN AROK.

Bagaimana kisahnya?
Mari simak bersama di bawah ini :

        Ken Angrok biasa disebut Ken Arok atau Sri Ranggah Rajasa atau Sri Girinathaputra lahir di timur Gunung Kawi pada tahun 1182, wafat di istana Tumapel, Kutaraja pada tahun 1227, adalah pendiri dari Wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel yang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singhasari. Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi pada tahun 1222. 

Menurut pararaton ( sebuah naskah / kronik jawa kuno )Ken Arok adalah putra dari Ken Endog dengan Raja Jenggala Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara, seorang Raja Jenggala yang mengalahkan Raja Kertajaya Kedhiri / Panjalu.
( Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi
(ꦯꦿꦷꦫꦁꦒꦃꦫꦗꦱꦨꦠꦫꦱꦁꦲꦩꦸꦂꦮꦨꦸꦩꦶ) )

Raja Jenggala yang pada awal tahun 1194M menggempur Panjalu Kediri adalah Sri Maharaja Girindra, ayah dari Putri Sasi Kirana. Raja Jenggala ini disebut pula sebagai Sri Maharaja Jayamerta Sang Girindratama Girinatha wiswarupakumara, raja yang menganut agama Siwa. Girindra maupun Girinata artinya raja gunung. Sang Girinata juga sebutan lain bagi Dewa Siwa.

Selain memiliki putri bernama Sasi Kirana, Sri Maharaja Girindra ini juga memiliki seorang putra dari istri selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.

Ken Arok lahir pada tahun 1182, sebagai putra bangsawan  dari Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang wanita desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok. Beliau telah meninggal dunia saat Ken Arok masih dalam kandungan. Pada saat ibunya dibawa ke Kediri, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.

Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri dan gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.

Ken Arok yang tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan dan Istri mudanya yang bernama Thirthaja  (Istri muda Bango Samparan mempunyai lima anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang bungsu wanita bernama Cucupuranti), kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng (sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang). Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.

Setelah itu, Ken Arok bertemu seorang Brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.

Berdasarkan Serat Pararaton, Ken Arok (disebut pula Ken Aŋgrok) digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini secara simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif Ken Arok di kemudian hari dengan anak-anak seusianya pada saat itu.

Lohgawe kemudian membawa Ken Arok ke Kadipaten Tumapel (sekarang Singosari, Malang) yaitu salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri, yang saat itu di pimpin oleh seorang akuwu (setara camat zaman sekarang) bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.

Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang sangat cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.

Demi menjalankan ambisinya, Ken Arok membutuhkan senjata ampuh, untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Ayah angkat Ken Arok, Bango Samparan, kemudian memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Plumbangan, Doko, Blitar) yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.

Atas permintaan Ken Arok, Mpu Gandring sanggup membuatkan senjata yaitu sebilah keris pusaka dalam waktu satu tahun. Ken Arok yang tidak sabar, lima bulan kemudian datang mengambil pesanan, Mpu Gandring menolak memberikan Keris yang belum sempurna tersebut, akhirnya keris itu direbut Ken Arok dan ditusukkan kepada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh tujuh orang penguasa, termasuk Ken Arok sendiri dan keturunannya

Setelah kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencananya untuk melenyapkan dan merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Mula-mula ia memberikan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris Mpu Gandring sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.

Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya, tetapi ia pun mendukung rencana pembunuhan itu, karena Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Keesokan harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena keris Mpu Gandring yang di anggap miliknya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung.

Setelah Tunggul Ametung mati, Ken Arok lalu mengangkat dirinya sebagai Akuwu baru Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang keputusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung, bernama Anusapati, disebut juga Panji Anengah

Pada tahun 1221 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok karena diserang oleh Kertajaya. Dengan adanya kesempatan itu dan di dukung oleh para kaum brahmana, Ken Arok pun memberontak dan mempersiapkan penyerangan terhadap Kerajaan Kediri, ia menyatakan Kadipaten Tumapel sebagai "Kerajaan" merdeka yang lepas dari Kerajaan Kediri. Sebagai raja pertama Tumapel ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.

Di lain pihak, Raja Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) menyatakan tidak takut menghadapi serangan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa (= Bhatara Guru) dan siap berperang melawan Kertajaya.

Pada tahun 1222, Ken Arok memimpin pasukan Tumapel menyerang Kadiri. Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Genter (Ganter), wilayah timur Kediri. Pada pertempuran ini, pihak Kadiri kalah dan Kertajaya diberitakan melarikan diri naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati. Kemenangan yang menentukan tersebut menyebabkan runtuhnya kerajaan Kadiri pimpinan Kertajaya dan mengukuhkan kekuasaan Ken Arok di Jawa Timur, serta dimulainya Kerajaan Tumapel, dan pendirian pemerintahan Dinasti Rajasa.

Setelah Mahisa Wong Ateleng beranjak dewasa, Ken Arok mengangkat Mahisa Wong Ateleng sebagai penguasa Kediri. Hal ini menyebabkan Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua Ken Arok. Pada tahun 1227, setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya yaitu Tunggul Ametung telah mati dibunuh oleh Ken Arok. Setelah Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan. Kemudian, Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak dan mengangkat dirinya menjadi raja Tumapel menggantikan Ken Arok.

Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247 M (1169 Ç). Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sri Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sri Rajasa memang tidak sewajarnya.

Bagaimana silsilah dari Adityawarman berkaitan dengan Ken Arok?

Perkawinan antara ken Arok dan ken dedes melahirkan anak bernama mahesa wonga teleng

Mahisa Wonga Teleng (Jawa: ꦩꦲꦶꦰꦮꦺꦴꦔꦠꦼꦊꦁ, Bali: ᬫᬳᬶᬱᬯᭀᬗᬢ᭄ᬮᭂᬂ) adalah raja Kediri bawahan Tumapel. Menurut Pararaton adalah putra dari Ken Arok dengan Ken Dedes, pendiri Kerajaan Tumapel (atau lebih terkenal dengan nama Singhasari). 

Menurut Negarakertagama tokoh ini bergelar Sri Bhatara Parameswara yang merupakan ayah dari Narasinghamurti, leluhur raja-raja Majapahit.Beliau diketahui menikahi Ken Rimbi yang merupakan putri dari Ken Umang.

Mahisa Wonga Teleng adalah ayah dari Mahisa Campaka alias Narasingamurti. Menurut Nagarakretagama, Narasingamurti memiliki putra bernama Dyah Lembu Tal, yang merupakan ayah dari Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit.

Menurut Prof. Slamet Muljana yang menafsirkan Waning Hyun sebagai perempuan, Apabila Bhatara Parameswara benar-benar identik dengan Mahisa Wonga Teleng, maka dapat disimpulkan kalau Waning Hyun adalah saudara perempuan Narasinghamurti. Dengan demikian, hubungan antara Narasinghamurti dengan Wisnuwardhana tidak hanya sepupu, tetapi juga sebagai ipar.

Namun jika ditelisik dari nama Waning Hyun yang bergelar Nararya, maka beliau bukanlah perempuan dan bukan istri dari Wisnuwardhana. Namun keduanya tetap melangsungkan pemerintahan bersama.

Dari mahesa wonga teleng di teruskan oleh anaknya yg bernama mahesa cempaka
Yg kemudian anaknya bernama dyah lembu tal yg merupakam ayah dari Raden Wijaya

Lembu Tal atau Sri Harsawijaya atau Mahisa Tal adalah Seorang Putra dari Mahisa Campaka dan cucu dari Mahisa Wong Ateleng putra Ken Dedes dengan Ken Arok, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Singasari. Dyah Lembu Tal merupakan seorang Ksatria dan merupakan etnis Jawa dan bukan merupakan seorang perempuan. menurut Kitab Negarakertagama Lembu tal adalah seorang Ksatria Yudha. Lembu Tal Adalah Ayah dari Raden Wijaya Sang Raja Majapahit Pertama

Dan dari sinilah sejarah dari Adityawarman bermula
Kita ikuti blog kami selanjutnya ya




Sunday, June 1, 2025

KERAJAAN KERCINCI

Kerajaan kerinci

Pada masa di awal sejarah Pariangan - Pasumayam koto batu.

Daratan telah terbentuk sedemikian dimana nenek moyang minangkabau sekarang ini menyebutkan suatu masa dengan istilah lauik tasintak turun darek tasintak naiak ( air laut surut dan daratan tersentak ke atas / terangkat.

Daratan - daratan baru bermunculan se abad lamanya proses alam mengubah bentukan bumi. Dan dalam proses tersebut banyak bencana alam yang terjadi mulai dari gunung meletus dan berubahnya muka bumi akibat longsoran dan perubahan alam.

Sebuah Gunung yg tinggi menjulang di sebelah selatan Mahameru / marapi muncul.
Gunung ini menjadi magnet dari perpindahan penduduk.  Gunung Kerinci menjadi migrasi selanjutnya dari bangsa yang mendiami gunung Marapi.

KERAJAAN KOTO ALAM, TANAH DATAR

KERAJAAN KOTO ALAM - PADANG LAWEH
setelah Kerajaan Pasumayam Koto Batu di tinggalkan dan berpindah ke Pariangan, masing masing istri raja mendiami istana mereka masing - masing.

Permaisuri raja Indera jelita ( indo jelito )
Mengiringi Sri maharaja diraja ke Pariangan. Sementara putri Kham in mendiami istana di Bukit Posuak - mahat ( kerajaan maek )
Puteri Hera Mong Champa mendiami kerajaan Lahsi ( lasi ), Putri An jian mendiami Kerajaan Kurinci dan terus berpindah ke pantai timur 
 dan selanjutnya Puteri Khu Chin Siam mendiami sisi timur matahari terbit di kaki gunung Marapi di Kerajaan Koto Alam.
Daerah ini berada di wilayah kawasan Sungai tarab saat ini. Tepatnya di jorong Koto alam, padang laweh. 
Kerajaan Koto alam - padang laweh ini memiliki kontur alam yg miring sehingga leluhur dari putri Siam ini mengembangkan pertanian mereka di tanah yg miring. Karena sedikit sekali atau kurang tanah yg datar kemudian ia menamai kerajaannya sebagai kerajaan Luhak Tanah datar ( tanah yang datar kurang )
Dari sini kemudian keturunan dan pengikut dari putri Khu Cin Siam berkembang. Kawasan ini nantinya terus berkembang sebagai luhak nan tuo atau luhak tanah datar.

Sehinggalah kemudian datang utusan dari pariangan memberi tugas untuk manaruko hutan dan membuat sawah.
Mereka di kenal dengan kelompok nan salapan. Nantinya kawasan ygvlebih luas dan ramai akan teebentuk dan bernama SALIMPAUANG.
Kelompok Salapan (Urang Nan Salapan)
Pada zaman dahulunya Kelompok salapan datang dari dusun tuo pariangan sebanyak sebelas kelompok dalam artian memiliki sebelas niniak, yang mana mereka berjalan dari pariangan menyisiri lereng gunung merapi dan beristirahat di Talang Dasun sehingga akhirnya sampai disebuah bukit yang bernama bukit sari bulan yang bertepatan pada satu hari bulan hijriah dan sampai sekarang bukit tersebut masih diberi nama Bukik Sari Bulan yang terletak di Nagari Koto Baru Kecamatan Sungai Tarab.
Setelah nenek moyang nan sabaleh tersebut sampai di bukit sari bulan maka mereka bermusyawarah sambil beristirahat guna untuk mencari tempat bercocok tanam yang baik serta dimana lokasi untuk membuat sawah (Taruko), setelah selesai bermusyawarah maka dapatlah kesepakatan bahwasanya kelompok nan sabaleh dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama sebanyak Ampek niniak dan kelompok yang kedua sebanyak tujuah niniak.

Kelompok ampek ninik berpendapat pergi kearah timur untuk membuat Taratak, kemudian mereka berjalan hingga sampai di macang kamba hingga menetap di Nagari Rao-rao Kecamatan Sungai Tarab dan disanalah mereka menetap serta bercocok tanam, kelompok tersebut juga terbagi menjadi dua kelompok dengan sebutan “Duo Suku dateh dan Duo Suku dibawah”.

Sedangkan Kelompok Tujuah Niniak yang cikal bakal penduduk Nagari Salimpaung sepakat untuk menetap di bukik sari bulan untuk membuat Taratak serta bercocok tanam didaerah tersebut, sehingga mereka membuat tujuh buah pincuran dan sampai sekarang daerah tersebut masih dinamakan “Pincuran tujuah”, dan sebagian dari mereka memperluas wilayah mereka dengan membuat sebuah ladang yang pertama kali di Jorong Koto Tuo dan daerah tersebut diberi nama “Ladang Dahulu” yang sampai sekarang masih dinamai dengan ladang dahulu, maka mulailah mereka manaruko sawah berpiring-piring sehingga sawah tersebut dinamai dengan “Sawah Taruko” yang terletak di Jorong Koto Tuo.
Seiring berjalannya waktu maka mereka semakin berkembang biak dan akhirnya kelompok tujuah niniak mulai membangun sebuah Dusun, yang mana dibagi menjadi dua kelompok antara lain limo niniak tinggal di Koto Tuo dan duo niniak tinggal di Nan II Suku.

Dengan telah berdirinya Dusun maka Kelompok Ampek Niniak yang sudah pergi ke Nagari Rao-rao kembali lagi Satu Niniak ke kelompok Tujuah Niniak dan mereka diterima sehingga disebutlah dengan “urang nan Salapan” di Nagari Salimpaung. Urang nan Salapan membangun Taratak di Koto Tuo dan Nan II Suku, dan sampai sekarang mereka sudah memiliki kaum masing-masing sebagai mana istilah adat mengatakan setiap niniak mamak memiliki syarat dan rukun yaitu :

Balabuah batapian

Bapandan bakuburan

Basawah baladang

Barumah batanggo

Balasuang barangkiang

Maka mereka urang nan salapan tersebut memiliki dari semua syarat dan ketentuan yang ada dalam adat minang kabau tersebut.

Selanjutnya datang KELOMPOK NAN SAPULUAH URANG 

Kelompok Sapuluah (Urang Nan Sapuluah)
Kelompok Urang Nan Sapuluah berangkat dari Tanjuang Sungayang menuju kearah Barat sebanyak Empat Belas kelompok, kemudian berhenti untuk beristirahat sambil bermusyawarah disebuah tempat yang bernama ladang Sumaniak, guna untuk mencari tempat bercocok tanam yang baik serta dimana lokasi untuk membuat sawah (Taruko), setelah selesai bermusyawarah maka dapatlah kesepakatan bahwasanya kelompok Ampek Baleh dibagi menjadi dua kelompok, kelompok yang pertama sebanyak Limo niniak dan kelompok yang kedua sebanyak Sambilan niniak.

Kelompok Lima Niniak sepakat untuk tinggal ladang Sumaniak dan tidak melanjutkan perjalan, sehingga disanalah mereka tinggal dan bercocok tanam untuk melanjutkan kelangsungan hidup mereka sehingga daerah disana dinamakan dengan Limo Sumaniak sampai saat sekarang.

Kelompok Nan Sambilan tetap melanjutkan perjalanannya kearah Barat sehingga mereka sampai disebuah hamparan disebelah bukit, maka disanalah mereka mulai berfikir untuk membangun tempat menetap atau membuat sebuah “Taratak” dan sampai saat sekarang ini masih bisa kita buktikan lokasi yang digunakan oleh Kelompok Nan Sambilan dinamakan dengan “Munggu Sipikia” (Tanah tempat Berfikir) yang terletak di sawah Padang Jorong Nan IX Nagari Salimpaung.

Dengan telah adanya kesepakatan Kelompok Nan Sambilan untuk membangun sawah dan ladang “Taratak” di Munggu Sipikia, seiring berjalannya waktu masyarakat semakin berkembang biak maka dibangunlah sebuah Dusun dan dibagilah kelompok ini menjadi Tiga kelompok antara lain Lima kelompok tinggal di seputaran munggu sipikia dan sampai sekarang masih ada daerah persawahan yang dinamakan dengan nama “Lima Padang” , Dua kelompok pergi ke Nan II Suku dan Dua Kelompok lagi pergi ke Koto Tuo.

Sesuai dengan paparan diatas maka kelompok tersebutlah yang dinamakan dengan Urang nan Sambilan, dan sampai sekarang mereka sudah memiliki kaum masing-masing sebagai mana istilah adat mengatakan setiap niniak mamak memiliki syarat dan rukun yaitu :

Balabuah batapian

Bapandan bakuburan

Basawah baladang

Barumah batanggo

Balasuang barangkiang

Maka mereka urang nan Sambilan tersebut memiliki dari semua syarat dan ketentuan yang ada dalam adat minang kabau tersebut.

Dengan telah terbentuknya taratak dan dusun oleh urang nan salapan dan urang nan sambilan ini, maka satu Kelompok dari lima kelompok yang ada di ladang sumaniak menyusul urang nan sambilan untuk bergabung kembali dan urang nan sambilan pun menerimanya maka dari itulah disebut dengan “urang nan sapuluah”.

Seiring dengan berjalannya waktu dan telah berkembang biaknya keturunan dua kelompok tersebut (Urang Nan Salapan dan urang nan Sapuluah) maka sepakatlah mereka untuk membangun koto sebanyak Tiga Koto antara lain :

Koto Tuo
Koto Nan IX
Koto Nan II Suku
Dengan telah dilahirkan Tiga Buah Koto maka koto yang tiga inilah yang menjadi NAGARI SALIMPAUNG sampai saat sekarang.

Nagari Salimpaung memiliki tiga koto yang terdapat didalamnya Dua Belas Suku antara lain :

Koto Tuo
- Suku Caniago
- Suku Kutianyir
- Suku Dalimo Panjang
- Suku Koto Dalimo

Koto Nan II Suku
- Suku Caniago
- Suku Bodi
- Suku Kutianyir
- Suku Jambak

Koto Nan IX
- Suku Koto Piliang
- Suku Sitabek Parik Cancang
- Suku Bendang Melayu
- Suku Payo Bada

Koto-koto yang ada di Nagari Salimpaung memiliki sejarah masing-masing antara lain :

Koto Tuo
Koto Tuo merupakan Koto yang pertama kali membangun taratak dan dusun sehingga daerah tersebut diberi nama koto tuo (Koto yang paling tertua)

Koto Nan IX
Nan IX merupakan Koto yang kedua di Nagari Salimpaung dan namanya diambilkan dari Sambilan Niniak atau dari kelompok urang nan sapuluah.

Koto Nan II Suku
Nan II Suku merupakan koto yang terakhir dibangun setelah adanya koto yang dua yang mana namanya diambilkan dari dua kelompok (Urang nan salapan dan urang nan sapuluah) dan disepakati menjadi nan II Suku.

Dengan berkembangnya zaman dan bertambahnya jumlah penduduk di Nagari Salimpaung serta sempitnya lahan pertanian maka sebagian dari masyarakat yang ada di Nan IX dan Nan II Suku memperluas areal pertaniannya kearah Barat dan di beri nama daerah tersebut dengan sebutan “Padang Kuok” yang artinya Hamparan yang subur.

Seiring dengan berjalannya waktu maka masyarakat yang bercocok tanam di padang kuok tersebut mulai menetap dan terbentuk pulalah disana suatu perkampungan yang termasuk kedalam wilayah Pemerintahan Nagari Salimpaung.

Pada tahun 1984 Sesuai dengan undang-undang dari Pemerintah yang lebih tinggi maka Nagari yang ada di Sumatera Barat dilebur menjadi Desa, maka perkampungan yang dinamakan Padang Kuok sesuai dengan kesepakatan tokoh-tokoh yang ada di Padang Kuok dimasa itu sepakat mengganti nama Padang Kuok menjadi “Padang Jaya” dan Nagari Salimpaung terpecah menjadi Empat buah Desa antara lain :

Desa Koto Tuo
Desa Nan IX
Desa Nan II Suku
Desa Padang Jaya

Pada tahun 2001 Sesuai dengan pepatah orang Minang Kabau Sakali Aia Gadang Sakali Titian Baraliah, dengan terjadinya pergantian kepemimpinan di Negara Republik Indonesia maka beberapa desa yang ada di Sumatera Barat kembali disatukan menjadi sebuah Nagari, begitupulalah di Nagari Salimpaung Desa-desa yang dulunya merupakan wilayah Nagari Salimpaung kembali bergabung kedalam satu Pemerintahan yaitunya Nagari Salimpaung yang terdiri dari Empat Jorong antara lain Jorong Koto Tuo, Jorong Nan II Suku, Jorong Nan IX dan Jorong Padang Jaya.


KERAJAAN - KERAJAAN DI MALAYSIA

KERAJAAN - KERAJAAN TUA DI MALAYSIA 1. Kerajaan Kedah Tua (Kedah Zaman Awal) Berdasarkan catatan India, Cina, dan Arab, Kedah Tua (kadang di...